Pemprov Sumsel terkesan kurang peduli masyarakat terdampak buruk eksploitasi batubara

Batubara menjanjikan keuntungan besar untuk mereka yang mendapatkan IUP tambang batubara karena keuntungan bersih (Netto Income) lebih dari 20%. PT Bukit Asam dan investor swasta adalah fihak yang sangat beruntung mendapatkan IUP Batubara di Sumatera Selatan karena mendapat trilyunan rupiah laba bersih pertahunnya.

Namun berbeda dengan nasib masyarakat Sumatera Selatan dan khususnya masyarakat di mulut tambang bukanlah keuntungan yang didapat tapi dampak sangat buruk yang dirasakan.

Ekosistem hutan hujan tropis Bukit Barisan di wilayah Muara Enim dan Lahat bisa di katakan 90% telah rusak karena eksplorasi dan eksploitasi batubara PT Bukit Asam dan tambang swasta. IUP batubara yang di terbitkan oleh Pemerintah mungkin sudah lebih dari 300.000 hektar dan mungkin telah membabat separuh hutan konservasi dan hutan cagar alam Sumatera Selatan.

Apalagi dengan terbitnya undang – undang Omnibus Law yang membabat mata rantai perizinan dimana dapat di katakan IUP kembali seperti dahulu, “kewenangan pusat” maka eksploitasi batubara akan dikuasai konglomerasi dan BUMN. Sementara daerah tambang semakin merasakan dampak perubahan ekosistem yaitu kenaikan suhu dan kerusakan lingkungan pasca tambang.

Para pegiat anti korupsi dan aktivis peduli lingkungan tak henti – hentinya menyuarakan kepentingan masyarakat pemilik tanah ulayat yang terzolimi dan terenggut hak atas hasil perut bumi mereka. “Kembalikan tanah mereka yang terenggut karena IUP batubara karena itu hak mutlak mereka selaku pemilik tanah ulayat”, kata Charma Apriyanto Ketua DPP Gerakan Cinta Rakyat (Gencar). “Negara ini didirikan di atas tanah ulayat dan sesuai dengan amanah para pejuang kemerdekaan yang di wakili oleh Soekarno maka hak masyarakat ulayat di lindungi undang – undang dasar 1945 dan undang – undang pokok agraria 1960”, selanjutnya Charma berucap.

“Tapi sekarang yang terjadi malah masyarakat menjadi buruh atau pekerja di tanah mereka sendiri dan ironisnya lagi tanah eks tambang akan menjadi sumber malapetaka bagi mereka setelah pasca tambang”, imbuh Charma dengan nada marah. “Tanah miskin unsur hara karena lapisan top soil berupa humus sudah hilang sementara dana reklamasi dan pasca tambang yang menjadi kewajiban perusahaan tambang entah kemana raibnya”, ucap Charma dengan mata berkaca – kaca.

Dana reklamasi pasca tambang juga menjadi sorotan MAKI Sumatera Selatan karena di kelola sendiri oleh penambang. “Trilyunan dana itu saat ini tapi tidak tahu apa program dengan dana tersebut oleh PT Bukit Asam dan fihak swasta karena kurangnya pengawasan dari pemerintah daerah”, kata Bony Balitong Koordinator MAKI Palembang. Senada dengan Bony, Charma Apriyanto juga berucap, “Pemerintah Daerah harus mengambil alih dana reklamasi pasca tambang dengan menerbitkan Perda terkait iuran dana reklamasi pasca tambang untuk PT Bukit Asam dan fihak tambang swasta”, timpal Charma.

“Jangan mereka menikmati keuntungan trilyunan rupiah sementara masyarakat merasakan dampak buruknya, pemerintah daerah harus keras jangan cuma nitip komisaris bae”, kata Charma dengan tersenyum. “Berapa Royalti dan pajak yang diterima Pemerintah Daerah dari eksploitasi batubara, kalau cuma 8% dari keuntungan bersih karena saham milik rakyat cuma 0,9% di PT BA atau saham belas kasihan sementara tambang swasta tidak ada kontribusi sama sekali”, kata Charma kembali. “Mari bergandeng tangan masyarakat dan Pemerintah Daerah untuk mendapatkan hak atas hasil tambang batubara yang di eksplorasi PT BA dan tambang swasta minimal 25% keuntungan bersih atau minimal Rp. 3 trilyun Laba Bersih masuk APBD Sumsel, lahat, Muara Enim dan kabupaten lain atau teruslah seperti sekarang diam dan bodoh”, pungkas Charma.

Pewarta : Nazaruddin Siregar

Mungkin Anda Menyukai